By: Wahyudin Sitorus, S.Farm., Apt.
2013
Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan
sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi
yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin dan menyebabkan penyakit komplikasi kronik pada mikrovaskular,
makrovaskular dan neuropatik (Depkes RI,
2005; Triplitt, et al., 2011). Pasein DM
membutuhkan asuhan medis dan edukasi manajemen diri berkelanjutan serta
dukungan untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi komplikasi jangka
panjang (ADA,
2012).
Epidemiologi
Penyakit
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang termasuk ke dalam 10
(sepuluh) besar penyakit di Indonesia (Depkes RI, 2005). Data laporan Riskesdas
Tahun 2007 pola penyebab semua kematian semua umur penduduk Indonesia, DM
menduduki urutan ke enam (Depkes RI, 2009). Jumlah penderita DM di Indonesia
dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat.
Jumlah kasus baru kunjungan rawat jalan rumah sakit pada tahun 2007 adalah
28.095 kasus. keseluruhan DM menyebabkan 4.162 kematian atau Case Fatality Rate (CFR) sebesar 7,02% (Depkes RI,
2009).
Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melakukan wawancara dan pemeriksaan kadar
glukosa darah pada sejumlah sampel usia 15 tahun ke atas di daerah perkotaan.
Metode yang dilakukan mengacu pada diagnosis DM menurut kriteria WHO 1999 dan American Diabetic Association 2003.
Hasil yang diperoleh yaitu prevalensi total DM pada penduduk perkotaan
(gabungan persentase responden yang sudah mengetahui bahwa dirinya menderita DM
dan persentase responden yang terdiagnosis dalam Riskesdas) sebesar 5,7%, namun
hanya 1,5% (kira-kira 26% dari total DM) yang telah mengetahui dirinya
menderita DM sebelum pemeriksaan Riskesdas (Depkes RI,
2009).
Prevalensi
DM tipe 1 pada penduduk Amerika Serikat (AS) usia 0-19 tahun adalah 1,7/1.000.
Insidensi DM tipe 1 secara global mengalami peningkatan dalam beberapa dekade
terakhir hingga 5,3% pertahun di AS. Pada anak-anak di Eropa diprediksi dalam
tahun 2005-2020 akan terjadi kasus baru dua kali lipat pada anak usia kurang
dari lima tahun dan prevalensi usia kurang dari 15 tahun akan meningkat hingga
70% (Van Belle,
et al., 2011).
Selama
satu dekade terakhir prevalensi DM tipe 2 secara global meningkat dengan cepat.
DM tipe 2 mencapai 90% dari total semua kasus DM. Prevalensi DM tipe 2 di AS
diperkirakan 9,6% pada usia 20 tahun atau lebih. Sedangkan DM gestasional
prevalensinya diperkirakan mencapai 7% di AS (Triplitt,
et al., 2008).
Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi
DM mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dulu DM
diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya. Saat ini pengklasifikasian DM
cenderung berdasarkan etiologi penyakitnya. Menurut American Diabetes
Association (ADA) (2012), diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1,
DM tipe 2, DM tipe lain, DM gestasional.
DM tipe 1 (DM bergantung insulin)
DM
tipe 1 merupakan penyakit otoimun kronik terdapat pada orang yang rentan secara
genetik. Sistem imun tubuh menyerang sel-sel β Langerhans pada pankreas.
Serangan tersebut menghancurkan atau merusak sel-sel tersebut, sehingga
mengurangi produksi insulin (Van Belle,
et al., 2011). Penanda (marker)
pengrusakan imun pada sel β terdapat pada 90% yang didiagnosis DM tipe1 (Triplitt, et al., 2011).
DM
tipe 1 biasanya terjadi pada masa anak-anak dan remaja serta usia kurang dari
30 tahun, namun bisa juga terjadi pada usia berapa saja (Triplitt, et al., 2011; Van Belle,
et al., 2011). Individu yang lebih muda
secara khas terjadi kerusakan sel yang cepat dan terjadi ketoasidosis (Triplitt, et al., 2011).
DM tipe 2 (DM tidak
bergantung insulin)
DM tipe 2
ditandai dengan terjadinya resistensi dan berkurangnya sekresi insulin secara
progresif dari waktu ke waktu (Triplitt, et al., 2011). Selain resistensi insulin pada otot, hati
dan sel β,
yang berperan penting dalam perkembangan intoleransi glukosa pada penderita DM
tipe 2 yaitu terjadinya resistensi insulin pada sel lemak (mempercepat
lipolisis), sistem pencernaan (deisiensi/resistensi incretin), sel α
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan reabsorpsi glukosa), dan pada otak (DeFronzo,
2009). Pada penderita DM tipe 2 juga terjadi hipertensi, dislipidemia (tinggi
kadar trigliserida dan rendah kadar kolesterol HDL), dan peningkatan inhibitor
plasminogen activator-1
(PAI-1) yang berperan dalam kondisi hypercoagulable.
Ketidaknormalan ini meningkatkan komplikasi makrovaskular (Triplitt, et al., 2011).
Berdasarkan uji toleransi glukosa
oral, penderita DM tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok: 1) kelompok yang
hasil uji toleransi glukosanya normal, 2) kelompok yang hasil uji toleransi
glukosanya abnormal, disebut juga diabetes kimia (Chemical Diabetes), 3) kelompok yang menunjukkan hiperglikemia
puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl), 4) kelompok yang
menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140
mg/dl) (Depkes RI,
2005).
DM tipe lain
Tipe DM lainnya yaitu disebabkan
oleh cacat genetik pada sel β, cacat genetik fungsi kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis) dan induksi kimia atau obat (seperti pengobatan
HIV/AIDS atau transplantasi organ) (ADA,
2012).
DM Gestasional
DM gestasional yaitu terjadinya
intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Kadar
gula darah akan kembali normal paska melahirkan, namun 30-50% akan menjadi DM
tipe 2 atau berlanjut menjadi intoleransi glukosa. Deteksi klinis penting untuk
melakukan terapi agar mengurangi resiko morbiditas dan mortalitas perinatal (Triplitt, et al., 2011). Penilaian risiko DM gestasional harus
dilakukan segera pada kehamilan dengan cara memeriksa kadar gula darah secara
random. Jika hasil diagnostik pertama dan beberapa hari berikutnya di atas
ambang normal, maka diagnosis DM gestasional dapat ditegakkan. Setiap wanita
yang didiagnosis dengan DM gestasional harus dilakukan tes ulang enam minggu
pospartus (Cook, et al., 2008).
Diagnosis Diabetes
Secara patofisiologi kadar glukosa
darah puasa dan posprandial tidak menunjukkan hasil dari proses fisiologis yang
sama. Kadar glukosa darah puasa menunjukkan produksi glukosa hati, yang
sebahagian besar ditentukan oleh kapasitas sekresi insulin dan pelepasan
glukagon oleh pankreas. Glukosa darah
posprandial mencerminkan uptake
glukosa pada jaringan tepi (otot dan lemak) dan bergantung pada sensitivitas
insulin pada jaringan tersebut (Triplitt, et al., 2011). Sedangkan untuk mengetahui kadar rata-rata
glukosa plasma selama delapan hinggga dua belas minggu sebelumnya dapat
dilakukan dengan pemeriksan A1C (Hemoglobin A1C) (WHO, 2011).
Kriteria diagnostik saat ini dikatakan DM
apabila A1C ≥ 6.5%, gula darah puasa ≥ 7,0 mmol/l (≥ 126 mg/dl), gula darah
sewaktu ≥ 11,1 mmol/l (≥ 200 mg/dl) atau gula darah dua jam setelah mengkonsumsi
glukosa 75 gram dilarutkan dalam air dan diberikan melalui oral ≥ 11,1 mmol/l (≥
200 mg/dl) (ADA,
2012).
Pankreas dan Islet Langerhans
Satu revolusi terbesar dalam dunia medis yaitu penelitian insulin sebagai hormon yang disekresikan oleh pankreas yang berfunsi untuk menurunkan gula darah. Insulin disekresi sebagai respon terhadap asupan makanan dan berperan penting dalam homeostasis glukosa darah. Dalam kondisi fisiologis normal, konsentrasi glukosa diatur oleh insulin dan glukagon. Setelah makan, insulin menekan produksi glukosa dari hati dan meningkatkan penyerapan glukosa ke otot rangka dan jaringan adiposa. Sebaliknya, glukagon meningkatkan tingkat glukosa selama puasa (Hamed, 2013).
Insulin diproduksi oleh sel
β-pankreas. Pankreas terdiri dari dua jenis jaringan kelenjar yang sangat
berbeda. Eksokrin pankreas memproduksi enzim pencernaan. Endokrin pankreas
terdiri dari jutaan kelompok kecil sel, yang disebut dengan pulau Langerhans,
tersebar di seluruh jaringan eksokrin. Sel-sel endokrin merupakan sekitar 4%
dari total massa sel pankreas (Hamed, 2013).
Setiap
pulau terdiri dari sekitar seribu sel. Setidaknya terdapat 4 jenis sel dalam
pulau Langerhans yaitu: sel β mensekresi insulin (70% dari sel-sel), sel α
mensekresi glukagon (terdiri dari sekitar 20% dari sel-sel), sel δ mensekresi
somatostatin, dan sel pp, merupakan jenis sel paling melimpah dan berfungsi
mensekresikan polipeptida pankreas (Hamed, 2013).
Sel β dan Sekresi Insulin
Dalam
sel β pankreas, insulin disimpan dalam granula sekretori kecil. Setiap β-sel
berisi sekitar 10.000 butiran insulin. Insulin diproduksi sebagai
pra-pro-insulin, dan kemudian diproses menjadi pro-insulin. Selanjutnya
pro-insulin dipecah menjadi insulin dan c-peptida dan disimpan dalam granul
sekresi. Rasio pro-insulin dengan
insulin telah terbukti meningkat pada DM tipe 2 (Hamed, 2013).
Stimulus dan Sekresi dalam
β-sel
Stimulasi sekresi insulin oleh
glukosa merupakan mekanisme utama pelepasan insulin. Insulin disekresi secara
berdenyut (pulsatile). Sel β pankreas aktif secara elektrik. Pada
konsentrasi fisiologis normal glukosa darah (4-5 mM), membran sel β memiliki
potensial membran negatif (-70 mV) karena efluks konstan ion K+.
Ketika glukosa darah naik, glukosa memasuki sel β dengan difusi yang
difasilitasi melalui transporter glukosa-2 (GLUT2). Setelah sekitar 1 menit,
metabolisme glukosa menyebabkan peningkatan produksi ATP/ADP. Peningkatan rasio
ATP/ADP menyebabkan penutupan saluran kalium ATP-sensitif (saluran KATP).
Penutupan saluran hasil KATP menyebabkan depolarisasi membran dan
membuka saluran Ca2+ dan selanjutnya terjadi peningkatan kalsium
intraseluler ([Ca2+] i). Hal ini memicu pelepasan granul yang mengandung
insulin melalui eksositosis-dependen Ca2+. Selain itu terdapat juga
yang disebut dengan mekanisme penguatan (disebut jalur independen KATP),
yang selanjutnya meningkatkan sekresi insulin dalam merespon masuknya ion Ca2+.
Mekanisme yang mendasari masih belum jelas, tapi beberapa faktor telah
diusulkan untuk berkontribusi jalur ini, seperti NADPH, ATP, GTP, malonil-CoA
dan glutamat (Hamed, 2013).
Patogenesis
DM tipe 1
Beberapa
faktor mempengaruhi pengembangan DM tipe 1 yaitu genetika, lingkungan, dan
signal seluler. Pada individu yang
normal, sistem kekebalan tubuhnya seimbang, memiliki kemampuan untuk
meningkatkan dan menekan respon seluler terhadap patogen. Ketika sistem
kekebalan tubuh tidak seimbang dan memberikan respon peradangan atau seluler
berlebihan, hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan DM tipe 1 dan
autoimunitas (Morran,
et al., 2008).
Insulin
menurunkan glukosa darah melalui berbagai mekanisme, termasuk stimulasi
penyerapan glukosa jaringan, penekanan produksi glukosa oleh hati, dan
penekanan rilis asam lemak bebas (FFA) dari sel lemak. Penekanan asam lemak
bebas berperan penting dalam homeostasis glukosa. Peningkatan kadar asam lemak
bebas menghambat penyerapan glukosa oleh otot dan merangsang glukoneogenesis
hati. Amilin merupakan hormon peptida glukoregulatori disekresikan bersama
dengan insulin, berperan dalam menurunkan glukosa darah dengan memperlambat
pengosongan lambung, menekan keluaran glukagon α pankreas. Pada DM tipe 1,
produksi amilin sangat rendah karena
terjadinya kehancuran sel (Triplitt, et al., 2011).
DM
tipe 1 ditandai dengan defisiensi total fungsi sel β pankreas. Peyakit ini dikenal dengan dua
subtipe utama, yaitu 1A (autoimun) dan 1B (idiopatik). Subtipe 1A secara genetik terjadi gangguan imun kronis
yang menimbulkan hilangnya kemampuan sel β pankreas untuk mensekresikan
insulin, sedangkan subtipe 1B penyebabnya jarang diketahui atau bersifat
idiopatik (Vlad,
et al., 2012; Triplitt, et al., 2011).
Pada
DM tipe 1 terjadi autoantibodi dan
infiltrasi progresif sel-sel imun ke dalam sel islet pankreas, kemudian diikuti
oleh kehancuran sel-sel tersebut. Saat timbulnya DM tipe 1 sistem imun (bawaan
dan adaptif) menyusup pada lesi sel islet untuk menghasilkan insulitis. Studi
menggunakan model manusia dan murine diabetes telah menunjukkan bahwa proses
destruktif autoimun pada DM tipe 1 terjadi dalam organ-spesifik melalui mediasi
sel dan membutuhkan sel T CD+4 dan CD+8 serta makrofag. Sel-sel ini
berakumulasi dalam lesi sel tetapi nondestruktif. Manifestasi klinis diabetes terjadi setelah 90% dari massa sel β seseorang telah hancur (Morran,
et al., 2008).
Tanda-tanda
pertama adanya autoimunitas melawan sel-sel β pankreas muncul dan terdeteksi
selama fase praklinis. Antibodi tersebut meliputi antibodi terhadap sel islet
(ICA), antibodi terhadap insulin (AAI), antibodi terhadap asam glutamat
dekarboksilase (AGAD), antibodi terhadap protein tirosin fosfatase intraseluler
terkait molekul IA2 (AIA2), dan
transporter kation zink dalam sel islet β pankreas (AZn-T8) (Sarmiento,
et al., 2013).
Genetik
berperan dalam kerentanan penyakit, ada bukti kuat untuk 2 daerah kromosom yang
berhubungan dengan DM tipe 1, yaitu human
leukocyte antigen (HLA) daerah pada kromosom 6p21 [insulin dependent
diabetes mellitus 1 (IDDM1)] dan pada kromosom 11p15 [insulindependent diabetes
mellitus 2 (IDDM2)]. Kontribusi dari 2 lokus yang diwariskan adalah sekitar 42%
untuk IDDM1 dan 10% untuk IDDM2 (Morran,
et al., 2008).
Selain
faktor genetik, faktor lingkungan juga mampu memicu perkembangan DM tipe 1.
Ahli epidemiologi telah meneliti tren untuk pemicu faktor lingkungan melalui variasi geografis utama
dalam kejadian DM tipe 1. Peran lingkungan terhadap DM tipe 1 sangat didukung
oleh bukti statistik menunjukkan bahwa kejadian subyek baru didiagnosis dengan
risiko tinggi genotipe HLA telah menurun selama dekade terakhir, sedangkan yang
baru didiagnosa dengan risiko rendah atau bahkan pelindung HLA genotipe telah
meningkat. Faktor lingkungan tertentu yang telah diteliti meliputi faktor
senyawa makanan, termasuk susu sapi, gluten gandum, produk kedelai, lemak, dan
bahkan kopi atau teh, serta dengan kekurangan vitamin, senyawa N-nitroso dan
racun lainnya, dan infeksi virus. Satu hipotesis sebuah asosiasi di Finlandia
yang mengkaji hubungan perkambangan DM tipe 1 dengan perubahan musim iklim, itu
menjadi lebih umum selama musim dingin (Morran,
et al., 2008).
DM Tipe 2
DM
tipe 2 merupakan manifastasi terjadinya berbagai gangguan pada homeostasis
glukosa. Gangguan tersebut meliputi gangguan sekkresi insulin, resistensi
insulin pada otot, hati dan jaringan adiposa serta ketidaknormalan pada
penyerapan glukosa pada splanchnic (DeFronzo,
2004).
Gangguan Sekresi Insulin
Pada
DM tipe 2, penurunan sekresi insulin postprandial disebabkan oleh gangguan
fungsi sel beta pankreas dan berkurangnya stimulus sekresi insulin dari hormon
usus. Hormon usus berperan dalam sekresi insulin terbaik ditunjukkan dengan membandingkan
respon insulin terhadap pemberian glukosa oral versus infus glukosa intravena.
Peningkatan sekresi insulin untuk merespon stimulus glukosa oral disebut
sebagai efek incretin dan menunjukkan
bahwa hormon usus menurun jika dirangsang oleh glukosa serta memicu peningkatan
sekresi insulin pankreas. Pada pasien diabetes tipe 2, efek incretin terganggu dengan peningkatan
sekresi insulin hanya menjadi 50% (Triplitt, et al., 2011). Gangguan sekresi insulin umumnya progresif,
dan menyebabkan toksisitas glukosa serta
toksisitas lipid. Penelitian pada hewan,
jika kondisi ini tidak ditangani akan menyebabkan penurunan massa sel β pankreas
(Kaku, 2010).
Saat
ini diketahui bahwa hormon glucagon-like peptide
1 (GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotropic polypeptide (GIP), bertanggung jawab lebih dari 90% untuk
meningkatkan sekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa oral. Pasien
dengan diabetes tipe 2 tetap peka terhadap GLP-1 sementara sering terjadi
resisten terhadap GIP. GLP-1 disekresikan dari sel L pada mukosa usus distal
sebagai respon terhadap makanan. Aksi insulinotropik GLP-1 bergantung pada
glukosa, dan GLP-1 meningkatkan sekresi insulin dan akan terjadi jika konsentrasi
glukosa harus lebih dari 90 mg/dL. Selain merangsang sekresi insulin, GLP-1
menekan sekresi glukagon, memperlambat pengosongan lambung, dan mengurangi
asupan makanan dengan meningkatkan rasa kenyang. Kombinasi efek-efek dari GLP-1
membatasi gula darah postprandial. GIP disekresikan oleh sel K dalam usus dan
berfungsi meningkatkan sekresi insulin. Namun, GIP tidak berpengaruh pada
sekresi glukagon, motilitas lambung, atau perasaan kenyang. Waktu paruh GLP-1
dan GIP pendek (<10 menit). Kedua hormon ini cepat menjadi tidak aktif
karena penghapusan dua N-terminal asam amino oleh enzim dipeptidyl peptidase 4
(DPP-4). Kadar GLP-1 tampaknya menurun karena nilai glukosa meningkat dari
normal pada DM tipe 2 (Triplitt, et al., 2011).
Lokasi Resistensi Insulin pada DM tipe 2
Hati
merupan salah satu lokasi resistensi insulin pada DM tipe 2. Pada DM tipe 2
memiliki hiperglikemia puasa sedang sampai berat (140-200 mg/dL, 7,8-1,1
mmol/L), produksi glukosa hepatik basal meningkat sebesar 0,5 mg/kg/min.
Akibatnya, selama jam tidur semalam hati seorang dengan berat 80 kg dan DM
ditambahkan sebesar 35 g glukosa ke sirkulasi sistemik. Peningkatan produksi
glukosa hepatik puasa adalah penyebab hiperglikemi puasa (Triplitt, et al., 2011). Pasien diabetes tipe 2
gagal untuk menekan glukagon dalam menanggapi makan dan bahkan mungkin meningkatkan
glukagon. Dengan demikian, resistensi insulin hepatik dan hasil hiperglukagonemia
produksi lanjutan glukosa oleh hati. Oleh karena itu, pasien diabetes tipe 2
memiliki dua sumber glukosa dalam keadaan postprandial, salah satu dari diet
dan satu dari produksi glukosa lanjutan dari hati. Kombinasi sumber glukosa dengan
waktu pengosongan lambung yang singkat dapat ditandai dengan hiperglikemia (Triplitt, et al., 2011).
Otot
adalah lokasi utama penggunaan glukosa dalam diri manusia, dan sekitar 80% dari
total penyerapan glukosa tubuh terjadi pada otot rangka. Dalam merespon
kenaikan konsentrasi insulin plasma fisiologis, glukosa otot meningkat secara
linear, mencapai nilai plateau 10 mg/kg/ menit. Sebaliknya, pada orang DM tipe
2 yang kurus, timbulnya aksi insulin tertunda selama 40 menit, dan kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa kaki berkurang sebesar 50%. Kompensasi
hiperinsulinemia diperlukan untuk mengatasi gangguan sinyal insulin (resistensi
insulin) dapat mengaktifkan jalur alternatif melalui MAP kinase, yang mungkin
terlibat dalam aterosklerosis. Disfungsi mitokondria juga mungkin memainkan
peran dalam resistensi insulin otot. Fungsi mitokondria dan kepadatannya tampak
lebih rendah dalam beberapa penelitian DM tipe 2. Hal ini dapat mengakibatkan
pengeluaran lebih sedikit energi dan peningkatan risiko disfungsi dengan diet
tinggi lemak (Triplitt, et al., 2011).
Jaringan
adiposa meruapakan lokasi resistensi insulin. Pada orang obesitas nondiabetes
dan diabetes, kadar basal asam lemak bebas (ALB) meningkat dan gagal untuk
menekan secara normal setelah konsumsi glukosa. ALB disimpan sebagai
trigliserida dalam sel lemak dan berfungsi sebagai sumber energi selama kondisi
puasa. Insulin merupakan inhibitor poten pada lipolisis, dan menahan pelepasan ALB
dari adiposit dengan menghambat hormone sensitif enzim lipase. Peningkatan konsentrasi
ALB plasma kronis dapat menyebabkan resistensi insulin pada otot dan hati, dan
mengganggu sekresi insulin. Selain ALB yang beredar dalam plasma dalam jumlah
yang meningkat, orang DM tipe 2 dan nondiabetes obesitas telah meningkat penyimpanan
trigliserida dalam otot dan hati, dan meningkatnya kadar lemak berkorelasi erat
dengan adanya resistensi insulin pada jaringan tersebut ((Triplitt, et al., 2011).
Mekanisme seluler Resistensi Insulin
Obesitas dan Resistensi Insulin
Peningkatan
berat badan dapat memicu terjadinya resistensi insulin, dan orang obesitas
nondiabetes memiliki derajat resistensi insulin yang sama dengan orang berat
badan normal dengan DM tipe 2. Pada 1.146 nondiabetes, orang normotensif, sensitivitas
insulin hilang secara progresif ketika BMI meningkat dari 18 kg/m2
sampai 38 kg/m2. Peningkatan resistensi insulin dengan kenaikan
berat badan secara langsung berkaitan dengan jumlah jaringan adiposa visceral (Triplitt, et al., 2011).
Istilah
jaringan adiposa visceral (JAV) mengacu pada sel-sel lemak yang terletak di
dalam rongga perut dan termasuk omentum, mesenterika, retroperitoneal, dan
jaringan adiposa perinephric. JAV telah terbukti berkorelasi dengan resistensi
insulin dan menjelaskan banyak variasi dalam resistensi insulin terlihat pada
populasi Afrika-Amerika. Jaringan adiposa viseral merupakan 20% dari lemak pada
pria dan 6% lemak pada wanita. Jaringan lemak ini telah terbukti memiliki
tingkat yang lebih tinggi daripada lipolisis lemak subkutan, mengakibatkan
peningkatan produksi ALB. Asam lemak yang dilepaskan ke dalam sirkulasi portal
dan mengalir ke hati, di mana akan merangsang produksi lipoprotein dan
menurunkan sensitivitas insulin pada jaringan perifer. JAV juga memproduksi
sejumlah sitokin seperti TNF-α, interleukin 6, dan resistin, yang berkontribusi
terhadap resistensi insulin. Faktor-faktor ini mengalir ke sirkulasi portal dan
mengurangi sensitivitas insulin pada jaringan perifer (Triplitt, et al., 2011).
Sindrom Metabolik
Asosiasi
resistensi insulin dengan pengelompokan faktor risiko kardiovaskular termasuk
hiperinsulinemia, hipertensi, obesitas abdominal, dislipidemia, dan kelainan
koagulasi telah disebut oleh berbagai nama termasuk sindrom resistensi insulin
atau sindrom metabolik (Triplitt, et al., 2011). Sindrom metabolik
merupakan gangguan yang kompleks dengan biaya sosial ekonomi tinggi yang
dianggap sebagai epidemi di seluruh dunia. Sindrom metabolik didefinisikan
sebagai sekelompok faktor yang saling berhubungan yang secara langsung meningkatkan risiko
penyakit jantung koroner (PJK), bentuk lain dari penyakit aterosklerosis
kardiovaskuler (CVD), dan DM tipe 2. Komponen utamanya adalah dislipidemia
(peningkatan trigliserida dan apolipoprotein B (apoB) yang mengandung
lipoprotein, dan low high density
lipoprotein (HDL)), peningkatan tekanan darah arteri dan disregulasi homeostasis
glukosa, sedangkan obesitas dan /atau resistensi insulin (IR) telah mendapatkan
meningkatkan perhatian sebagai manifestasi inti dari sindrom ini (Kassi,
et al., 2011).
Presentasi Klinis
Presentasi
klinis DM tipe 1 dan tipe 2 DM sangat berbeda. Autoimun DM tipe 1 dapat terjadi
pada semua usia. Sekitar 75% gangguan akan berkembang sebelum usia 20 tahun,
tetapi 25% sisanya akan berkembang saat dewasa. Individu dengan DM tipe 1
sering kurus dan rentan untuk terjadi ketoasidosis diabetic jika insulin
ditahan, atau dalam kondisi stres berat. Dua puluh persen sampai 40% dari
pasien dengan DM tipe 1 terjadi ketoasidosis diabetik setelah beberapa hari
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Kadang-kadang, pasien
DM tipe 1 didiagnosis tanpa beberapa gejala atau ketoasidosis diabetik. Karena
pasien yang baru didiagnosis dengan DM tipe 1 sis sel beta pankreas masih
berfungsi, yang biasa disebut dengan fase bulan madu. Setelah sisa sekresi
insulin berkurang, pasien benar-benar kekurangan insulin dan cenderung memiliki
glikemia lebih labil. Tidak semua tipe 1 pasien DM mengalami defisiensi insulin
lengkap, dan sejumlah kecil sisa sekresi insulin terlihat pada beberapa pasien
(Triplitt, et al., 2011).
Hadirnya DM tipe 2 pada pasien
sering tanpa gejala dan biasanya didiagnosis kebetulan selama pemeriksaan fisik
rutin atau ketika pasien pemeriksaan untuk keluhan lain. Ketika memberikan
riwayat penyakit mereka, orang dengan diabetes tipe 2 biasanya akan mengaku
kelelahan, poliuria, dan polidipsia. Karena pasien ini memiliki konsentrasi
insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis, biasanya tidak ada riwayat ketosis
kecuali dalam situasi stres yang tidak biasa (misalnya, infeksi, trauma).
Penyakit makrovaskuler juga sering terlihat pada saat diagnosis. Komplikasi
mikrovaskuler pada diagnosis menunjukkan adanya diabetes yang tidak
terdiagnosis atau subklinis selama 7 sampai 10 tahun. Karakteristik presentasi
klinis klasik harus digunakan dengan meletakan data laboratorium definitif
lainnya untuk benar mengklasifikasikan pasien (Triplitt, et al., 2011; Kroon,
2009).
Terapi Obat Antidiabetes DM tipe 2
Obat-obat
Antihiperglikemik terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe
II. Pemilihan obat antihiperglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Farmakoterapi antihiperglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu, dua atau tiga jenis obat bergantung pada
berbagai dasar pertimbangan. Pemilihan dan penentuan rejimen antihiperglikemik
yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit, efikasi,
profil efek merugikan obat, biaya, masalah glukosa (puasa atau prandial),
resiko hipoglikemia dan efek pada berat badan, serta kondisi kesehatan pasien
secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (Depkes RI,
2005; (Irons,
2013).
Penggolongan
Obat Antidiabetes
- golongan insulin
- agen yang merangsang pelepasan insulin (nonsulfonilurea dan sulfonilurea)
- terapi berdasarkan incretin [inhibitor DPP-4 (dipeptidyl peptidase-4), agonis GLP-1 (glucagon-like peptide-1)]
- agonis reseptor amilin
- sensitizer insulin (biguanida dan tiazodilindion)
- penunda absorpsi karbohidrat (inhibitor α-glukosidase)
- golongan lain yang sudah diterima FDA untuk mengobati DM tipe 2 seperti Bromokriptin dan Colesevelam.
Insulin
Agen ini biasanya digunakan untuk
terapi penderita DM tipe 1, karena sel β pankreasnya sudah hancur sehingga
tidak ada lagi sekresi insulin. Insulin merupakan hormon yang disekresikan oleh
sel β pankreas sebagai respon terhadap glukosa dan rangsangan lainnya seperti
asam amino, asam lemak bebas (ALB), hormone gastrik, stimulasi parasimpatetik,
atau stimulasi β adrenergik. Selain itu, insulin juga digunakan pada DM tipe 2,
dan DM gestasional (Kroon,
2009).
Produk insulin komersial berbeda
sifat imunogenitas, fisika dan kimia, farmakokinetik, farmakodinamiknya. Dengan
proses pabrik yang modern, saat ini kebanyakan insulin dibuat dari insulin
manusia, dengan demikian jarang terjadi lipodostropi (ketidaknormalan pada
jaringan adipose), hipersesnitif, atau resistensi terhadap insulin. Insulin
regular diberikan secara parenteral melalui intravena, intramuskular, atau
subkutan) (Kroon,
2009).
Setelah pemberian injeksi subkutan,
insulin diabsorbsi langsung ke dalam aliran darah melalui sistem limpatik.
Insulin eksogen didegradasi pada ginjal dan hati serta otot. Kurang lebih
30-80% insulin dibersihkan dari sirkulasi sistemik oleh ginjal. Insulin eksogen
disaring oleh kapiler glomerulus, tetapi lebih dari 99% direabsorbsi melalui
tubulus proksimal. Ketika diberikan secara intravena, waktu paruh untuk tiga
kompartemen adalah 2,3 sampai 2,4 menit, 14 menit, dan 133 menit. Aksi insulin
paling sesuai dengan kompartemen terakhir. Dengan demikian tidak dibutuhkan
penyesuaian dosis lebih sering dari dua jam. Secara klinis, perbedaan yang
paling penting diantara insulin berhubungan dengan onset, puncak, dan durasi
aksinya. Produk insulin saat ini dapat dikategorikan menjadi insulin aksi
cepat, aksi pendek, aksi menengah, dan aksi lama (Kroon,
2009).
Agen yang Merangsang Sekresi Insulin (nonsulfonilurea dan sulfonilurea)
Repaglinide
dan nateglinide merupakan agen yang dapat menstimulasi sekresi insulin
dari golongan nonsulfonilurea. Agen ini dikelompokkan menjadi meglitinide dan
derivate asam amino. Repaglinide disetujui oleh FDA pada Desember 2007 dan
nateglinide pada Desember tahun 2000 (Kroon,
2009).
Mekanisme kerja agen ini yaitu
menutup saluran adenosine tripospat sensitive pada sel β sehingga memicu
terjadinya depolarisasi membran sel, influx Ca2+ , dan sekresi
insulin. Berbeda dengan sulfonilurea, agen ini memiliki onset dan durasi aksi
lebih pendek, sehingga agen ini diberikan bersamaan dengan makanan untuk
meningkatkan pemanfaatan glukosa postprandial (Kroon,
2009).
Obat-obat golongan sulfonilurea
hingga saat ini sudah ada dua generasi. Sulfonilurea generasi pertama yaitu
asetoheksamid, klorpropamid, tolazamid, dan tolbutamid. Sedangkan generasi
kedua yaitu glimepirid, glipizid, dan gliburid (glibenklamid).
Terapi Berdasarkan Incretin
Incretin
merupakan hormon insulinotropik yang disekresikan dari sel neuroendokrin khusus
pada mukosa usus halus untuk merespon adanya asupan dan absorpsi glukosa.
Terapi berdasarkan incretin dapat
dibedakan menjadi agonis GLP-1 (glucagon-like
peptide-1) dan inhibitor DPP-4 (dipeptidyl
peptidase-4) (Kroon,
2009).
Agonis
GLP-1 (exenatide dan liraglutida) merupakan analog GLP-1 yang memiliki aksi
mirip dengan endogen GLP-1 dan meningkatkan sekresi insulin pankreas,
mengurangi sekresi glukagon, memperlambat waktu pengosongan lambung dan
memberikan rasa kenyang saat makan. Exenatid dipasarkan di dunia sejak tahun
2005, sedangkan liraglutida disetujui oleh FDA pada tahun 2010 (Irons,
2013).
Exenetide
dapat menurunkan A1C secara signifikan sebagai monoterapi dan ketika
ditambahkan pada terapi sulfonilurea, metformin, maupun tiazolidindion.
Demikian juga dengan liraglutid menunjukkan penurunan A1C yang signifikan pada
penggunaan monoterapi, dan memperbaiki gula darah puasa (Irons,
2013).
Setelah
pemberian injeksi subkutan, exenatide mencapai konsentrasi puncak plasma dalam
waktu 2,1 jam, dengan volume distribusi 28,3 liter dan waktu paruh sirkulasi
60-90 menit. Exetide dieliminasi sebagian besar melalui filtrasi glomerulus
kemudian degradasi proteolitik. Metabolisme dan eliminasi exenatide bergantung
pada dosis, konsentrasi exenatide dapat diukur hingga sepuluh jam setelah
injeksi. Liraglutide sangat tinggi berikatan dengan protein (>98%), dengan
waktu paruh 10-14 jam, diberikan sekali sehari (Kroon,
2009).
Inhibitor
DPP-4 (sitagliptin, vidagliptin, saxagliptin dan denagliptin) merupakan agen-agen
yang bekerja menghambat degradasi GIP dan GLP-1 saat memasuki pembuluh darah
gastrointestinal sehingga meningkatkan efek incretin
endogen pada fase pertama insulin dilepaskan dan glukagon dihambat (Kroon,
2009).
Sitagliptin
cepat diabsorbsi, dengan bioavaibilitas absolut 87%. Absorpsinya tidak
dipengaruhi makanan, konsentrasi puncak plasma terjadi 1 sampai 4 jam, dan
waktu parah 12,4 jam. Hanya 38% sitagliptin yang berikatan dengan protein.
Diekskresikan lewat urin dalam bentuk tidak berubah mencapai 79%, terutama
melalui sekresi aktif tubular renal dan mungkin juga dengan p-glikoprotein dan
anion transporter-3. Dimetabolisme oleh CYP3A4 dan CYP2C8, sedikit metabolit
diekskresikan melalui feses (Kroon,
2009).
Vidagliptin
diabsorbsi cepat dengan bioavaibilitas absolut mencapai 85%. Makanan tidak
mempengaruhi absorpsi. Berat badan mempengaruhi volume distribusi. Kliren
ginjal terlihitung 21% dan lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan (Kroon,
2009).
Efek
samping yang paling umum dari sitagliptin dan vidagliptin adalah peningkatan
resiko infeksi nasofaring, infeksi saluran nafas atas, sinusitis, infeksi
saluran urin, dan sakit kepala. Vidagliptin juga menyebabkan batuk, kelelahan,
dispepsia, mual, konstipasi dan diare (Kroon,
2009).
Pramlintide merupakan analog amilin
sintesis. Bioavaibilitas absolut pemberian subkutan mencapai 30-40%. Massa tubuh
tidak mempengaruhi absorpsi dan bioavaibilitas. Hampir 40% obat ini tidak berikatan
pada plasma. Waktu paruh 48 menit. Dimetabolisme oleh ginjal menjadi metabolit
aktif dengan waktu paruh sama dengan obat induk (Kroon,
2009). Efek samping obat seperti simptom
gastrointestinal, muntah, anoreksia, dan nyeri perut. Simptom gastrointestinal
biasanya sementara berhenti setelah 4-8 minggu pengobatan (Kroon,
2009).
Agonis
Reseptor Amilin
Amilin
atau amiloid polipeptida merupakan hormon yang ditemukan pada sel β yang
dibuat, disimpan, dan dilepaskan dengan insulin untuk merespon asupan makanan.
Contoh agen yang sudah disetujui di Amerika Serikat yaitu pramlintide yang
dapat digunakan untuk penangan dan tambahan pada DM tipe 1 atau 2. Studi klinis pada pasien DM tipe 2 dengan
dosis mencapai 120 mcg/hari selama 52 minggu, pramlintide dikombinasi dengan
oral hipoglikemik lain atau insulin mampu menurunkan A1C dan berat badan
bermakna (Kroon,
2009).
Pramlintide merupakan analog amilin
sintesis. Bioavaibilitas absolut pemberian subkutan mencapai 30-40%. Massa tubuh
tidak mempengaruhi absorpsi dan bioavaibilitas. Hampir 40% obat ini tidak berikatan
pada plasma. Waktu paruh 48 menit. Dimetabolisme oleh ginjal menjadi metabolit
aktif dengan waktu paruh sama dengan obat induk (Kroon,
2009).
Efek samping obat seperti simptom
gastrointestinal, muntah, anoreksia, dan nyeri perut. Simptom gastrointestinal
biasanya sementara berhenti setelah 4-8 minggu pengobatan (Kroon,
2009).
Sensitizer Insulin (Biguanida dan Tiazodilindion)
Golongan
Biguanida merupakan obat hipoglikemik oral yang bekerja langsung pada hati,
menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak
merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia.
Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik
oral saat ini adalah metformin. Metformin masih banyak dipakai di beberapa
negara termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup
sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada gangguan fungsi ginjal
dan hati (Depkes RI,
2005).
Efek
samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang-kadang diare, dan dapat
menyebabkan asidosis laktat. Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada
penderita gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, penyakit jantung
kongesif dan wanita hamil. Pada keadaan gawat juga sebaiknya tidak diberikan
biguanida (Depkes RI,
2005).
Golongan
Tiazolidindion (TZD) merupakan agen yang bekerja meningkatkan kepekaan tubuh
terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator
activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan
resistensi insulin. Senyawa-senyawa TZD juga menurunkan kecepatan
glikoneogenesis. Contohnya yaitu rosiglitazone dan pioglitazone (Depkes RI,
2005).
Golongan Inhibitor α-Glukosidase
Contoh
agen inhibitor α-glukosidase yaitu acarbose dan miglitol. Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase
bekerja menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus
halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan
sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus.
Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat
kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa
post prandial pada penderita diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga
menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di
dalam lumen usus halus. Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan
dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi penderita dengan diet
tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl (Depkes RI,
2005).
Obat-obat
inhibitor α-glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal dikombinasi dengan
obat hipoglikemik lainnya. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg
dan dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan untuk
memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan (Depkes RI,
2005).
Efek
samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan
kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan berlangsung lebih
lama. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan
tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum bersama-sama
obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin) dapat terjadi hipoglikemia
yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat diatasi dengan
pemberian gula pasir. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan
dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap
pertama setiap kali makan (Depkes RI,
2005).
Golongan Lain
Bromokriptin dan
colesevelam merupakan dua agen baru yang disetujui FDA sabagai antihiperglikemia
pada DM tipe 2 (Irons,
2013). Tahun
1970 bromokriptin disetujui FDA sebagai obat Parkinson (agonis reseptor
dopamine 2), namun pada tahun 2009 FDA juga menyetujui bromokriptin sebagai
agen anithiperglikemia untuk pasien DM tipe 2. Bagaimana bromokriptin dapat
menurunkan gula darah belum diketahui (Irons,
2013).
Dosis
yang diberikan untuk pengobatan DM tipe 2 yaitu 0,8 mg sekali sehari, diberikan
dua jam setelah bangun tidur dan diberikan bersamaan dengan makanan untuk
memperbaiki bioavaibilitas. Dosis dapat ditingkatkan dalam interval mingguan
mulai 0,8 mg/hari smpai mencapai suatu dosis efektif 1,6-4,8 mg/hari.
Bromokriptin mempengaruhi gula darah puasa 0-27 mg/dL dan gula pospandrial 37
mg/dL. Saat ditambahkan pada agen antihiperglikemi lain atau insulin dapat
menurunkan A1C 0,1-0,6% (Irons,
2013).
Efek
samping formulasi bromokriptin untuk pengobatan DM tipe 2 menyebabkan mual,
muntah, kelelahan, sakit kepala, dan diare. Bromokriptin tidak boleh diberikan
selama kehamilan, serta pada pasien dengan hipotensi ortostatik, karena akan
memperburuk kondisi (Irons,
2013).
Colesevelam
disetujui FDA tahun 2000 sebagai agen pengobatan dislipidemia dan tahun 2008
disetujui sebagai agen antihiperglikemia dalam pengobatan DM tipe 2. Mekanisme
pasti colesevelam dalam menurunkan gula darah belum diketahui dengan pasti.
Namun, diusulkan agen ini memberikan efek pada reseptor farnesoid X, yang
merupakan reseptor asam empedu, dan memiliki aktivitas pada usus dan mungkin
juga pada hati. Perkiraan ini memicu terjadinya penurunan glukoneogenesis oleh
hati dan mungkin mempengaruhi GLP-1 dan GIP. Total dosis harian yang boleh
diberikan yaitu 3,75 gram secara oral, diberikan satu atau dua kali.
Colesevelam tersedia dalam bentuk pill atau suspensi (Irons,
2013).
Agen
ini belum diteliti sebagai pengobatan monoterapi pada penderita DM tipe 2,
namun telah dibandingkan dengan placebo ketika diberikan bersamaan dengan
metformin, sulfonylurea dan insulin. Kemampuan colesevelam menurunkan A1C
terbatas 0,3-0,5% (Irons,
2013). Efek
samping agen ini yaitu konstipasi, dyspepsia, dan mual. Pemberian obat ini
harus diberi perhatian pada pasien yang mengalami gastroparesis, tidak
digunakan pada pasien dengan kadar trigliserida lebih dari 500 mg/dL, dan orang
yang ada sejarah obstruksi usus yang diinduksi oleh pankreatitis (Irons,
2013).
DAFTAR PUSTAKA
ADA, (2012). Standards of Medical Care
in Diabetes-2012. DIABETES CARE.
Supplement 1.35: s11-s63.
Azzopardi,
L.M. (2010). Lecture Notes in Pharmacy
Practice. London: Pharmaceutical Press. Halaman 9.
Clayton, W., dan Elasy, T.A. (2009). A
Review of the Pathophysiology, Classification, and Treatment of Foot Ulcers in
Diabetic Patients. Clinical Diabetes.
27(2): 52-58.
Cook, C.L., Johnson, J.T., dan Wade,
W.E. (2008). Diabetes Mellitus. Dalam: Marie A. Chisholm-Burns, Barbara
G.Wells, Patrick M. Malone, Jill M. Kolesar, John C. Rotschafer dan Joseph T.
Dipiro. Pharmacotherapy Principles and
Practices. New York: McGraw-Hill Companies. Halaman 646, 647, 664.
DeFronzo, R.A. (2004). Pathogenesis of
type 2 diabetes mellitus. Med Clin N Am.
88: 787–835.
DeFronzo, R.A. (2009). From the Triumvirate to the
Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. DIABETES. 58: 773-795.
Hamed, T.M. (2013). Mechanisms of
Defective Insulin Secretion in Type 2 Diabetes. Thesis. Sweden: Media-Tryck. Lund University. Halaman 14.
Irons, B. (2013). New Pharmacotherapies for Type 2 Diabetes. http://www.accp.com/docs/bookstore/psap/p13b1_m1ch.pdf.
Diakses tanggal 5 Juli 2013.
Kaku, K. (2010).Pathophysiology of Type
2 Diabetes and Its Treatment Policy. JMAJ.
53(1): 41–46.
Kassi,
E., Pervanidou, P., dan Chrousos, G. (2011). Metabolic Syndrome: Definitions
and Controversies. BMC Medicine. 9: 48.
Kroon, L.A., Assemi, M. dan
Carlisl, B.A. (2009).Chapter 50. Diabetes Mellitus. Dalam: Koda-Kimble, Mary
Anne, Young, Lloyd Yee, Alldredge, Brian K., Corelli, Robin L., Guglielmo, B.
Joseph, Kradjan, Wayne A., Williams, Bradley R. Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs. Edisi ke Sembilan.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Halaman 48.
Morran, M.P., Omenn, G.S., dan
Pietropaolo, M. (2008).Immunology and Genetics of Type 1 Diabetes. Mt Sinai J Med. 75:314–327.
Riethof M., Flavin P.L., Lindvall B.,
Michels R., O’Connor P., Redmon B., Retzer, K., Roberts, J., Smith, S,
Sperl-Hillen, J. (2012). Diagnosis and Management of Type 2 Diabetes Mellitus
in Adults. Institute for Clinical Systems
Improvement. http://bit.ly/Diabetes0412.
Updated April 2012.
Sarmiento, L., Cubas-Dueñas, I., dan
Cabrera-Rode, E. (2013). Evidence of Association between Type 1 Diabetes and Exposure to Enterovirus in Cuban Children
and Adolescents. MEDICC Review. 15(1): 29-32.
Schwinghammer,
T.L. (2009).Pharmacotherapy Casebook A
Patient-Focused Approach. Editor: Terry L. Schwinghammer dan Julia M.
Koehler. New York: McGraw-Hill. Halaman 1-5, 21.
Triplitt,
C.L., Reasner, C.A., dan Isley, W.L. (2008). Diabetes Mellitus. Dalam: Joseph
T. DiPiro, Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells, L.
Michael Posey. Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach. Edisi Ketujuh. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Halaman
1206, 1207.
Triplitt C.L., dan Reasner C.A.
(2011). Chapter 83. Diabetes Mellitus. Dalam: R.L. Talbert, J.T. DiPiro, G.R.
Matzke, L.M. Posey, B.G. Wells, G.C. Yee., Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach. Edisi Kedelapan. http://www.accesspharmacy.com/content.aspx?aID=7990956.
Diakses 1 Juni 2013.
Van Belle, T.L., Coppieters, K.T., dan
von Herrath, M.G. (2011). Type 1 Diabetes: Etiology, Immunology, and
Therapeutic Strategies. Physiol Rev. 91: 79-118.
Vlad,
A., dan Timar, R. (2012). Pthogenesis of Type 1 Diabetes Mellitus: A Brief
Overview. Rom J Diabetes Nutr Metab Dis. 19(1): 67-72.
WHO. (2011). Use of
Glycated Haemoglobin (HbA1c) in the Diagnosis of Diabetes Mellitus. Geneva:
WHO Press. Halaman 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar